di Tepian Sungai Topore: Kala Eksavator Melahap Kebun Warga
ANALYSIS.ID, Mamuju – Suara gemericik air sungai tak lagi menenangkan di Desa Topore. Bagi warga seperti Rahmat, bunyi mesin eksavator yang mengeruk dasar sungai adalah lonceng peringatan akan hilangnya tanah warisan.
Sejak 2013, aktivitas penambangan galian-C di Kecamatan Papalang, Sulawesi Barat (Sulbar) ini dituding menjadi biang kerok rusaknya ekosistem dan menyusutnya lahan tani masyarakat.
“Sungai berubah arah. Airnya sekarang menghantam perkebunan kami,” keluh Rahmat kepada wartawan. Rabu (24/12/2025).
Apa yang terjadi di Topore bukan sekadar urusan debu atau bising mesin, ini adalah soal tanah yang amblas.
Tanaman kakao, jagung, hingga pisang yang menjadi urat nadi ekonomi warga perlahan tumbang, terseret arus sungai yang jalurnya berpindah akibat pengerukan masif di bagian hulu.
Dugaan Izin “Prematur” yang Salah Alamat
Ditempat terpisah, Ketua Komisariat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Unika, M. Defry S, menjelaskan bahwa di balik operasional CV Rahma Tika. Perusahaan ini ditengarai bermain di area abu-abu regulasi.
Meski telah beroperasi lebih dari satu dekade, kata Defry, status izin perusahaan tersebut disebut-sebut belum masuk dalam kategori operasi produksi.
“Statusnya masih dalam proses administrasi, belum bisa mengelola produksi. Tapi faktanya, pengerukan sudah jalan sejak 2013,” jelasnya.
Kejanggalan tak berhenti di situ. Berdasarkan data Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Sulbar, per 19 Februari 2025, ditemukan anomali lokasi izin yang mencolok.
Dokumen resmi mencatat lokasi tambang berada di Desa Topore, Kecamatan Kalukku. Namun, di lapangan, alat berat justru meraung-raung di Desa Topore, Kecamatan Papalang.
“Ini sangat miris. Izinnya di mana, aktivitasnya di mana. Ada beda lokasi yang nyata antara dokumen PTSP dengan realita di lapangan,” tegasnya.
Mengharap Ketegasan Aparat
Akibat pengerukan yang dalam dan tak terkendali di bagian tengah sungai, tebing-tebing penyangga lahan warga kehilangan kekuatan. Setiap kali hujan mengguyur hulu, volume air yang meningkat langsung menghantam daratan yang kini kian mengecil.
Warga kini mendesak Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat dan Aparat Penegak Hukum (APH) untuk tidak menutup mata. Bukan sekadar soal tertib administrasi, tapi soal kelangsungan hidup petani yang lahannya kian terkikis kerakusan industri.
Hingga berita ini diturunkan, upaya konfirmasi kepada pihak CV Rahma Tika dan dinas terkait mengenai selisih lokasi izin tersebut masih terus diupayakan. Namun bagi warga Papalang, setiap hari tanpa tindakan berarti adalah sejengkal tanah lagi yang hilang ditelan sungai.(*)

Tinggalkan Balasan