Opini: Tak Ada Stoikisme Bagi Rakyat
Oleh: Asyraf Alharaer Assegaf (Ketua Komisi Aspirasi Senat Mahasiswa IAIN Parepare)
Hampir diseluruh kota Indonesia dihiasi protes terhadap wakil rakyat. Kebijakan yang telah dikeluarkan belakangan ini banyak menuai kontroversi bagi rakyat, dengan rakyat selalu kembali ke satu narasi obrolan; hidup ini sudah sulit.
Sementara, berita politik harian begitu deras. Informasi pesat membuat keresahan rakyat meluap, rakyat mudah tersulut, emosi rakyat cepat meledak melihat informasi-informasi terus terupdate, meski kadang ada juga disinformasi. Namun itu dapat menjadi percikan yang membakar jalanan bagi rakyat.
Dalam situasi seperti ini malah hanya menambah kegaduhan, tentu tidak meredakan bagi rakyat. Bangsa ini, di berbagai kondisi beberapa pekan belakangan seperti hidup dalam ruang gema, riuh dan tanpa jeda.
Politik penuh intri, ekonomi rapuh oleh tekanan global, media sosial dengan arus informasi yang pesat juga menambah gaduh bercampur fakta dan manipulasi.
Agustus lalu di Pati, Jawa Tengah, kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan atau PBB-P2 tahun 2025 hingga 250 persen memicu protes, hingga dilakukan demonstrasi besar-besaran oleh warga dengan keberatan kebijakan itu.
Namun akhirnya pemerintah harus membatalkan kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan atau PBB-P2 dan akan mengembalikan uang sisa dari warga yang telah membayar, dan warga akan tetap menggelar demonstrasi.
Bukan hanya itu, keresahan ini tetap tidak berhenti disana. Lebih besar lagi gelombang demonstrasi bergemuruh di Jakarta pada akhir Agustus. Gelombang penolakan keputusan tunjangan DPR, hingga 17+8 Tuntutan lainnya.
Di sejumlah provinsi juga ikut memicu gelombang penolakan, bentrok pecah, dan beberapa gedung DPRD terbakar. Meski ada benturan dengan aparat dan belas kasih menelan beberapa korban jiwa, ratusan luka dan beberapa lain ditangkap.
Kemarahan rakyat tak hanya marah. 17+8 Tuntutan adalah daftar panjang bagi rakyat yang menggambarkan keresahan mendalam.
Mulai dari pembatalan tunjangan rumah DPR, penurunan harga pangan, penolakan kenaikan pajak daerah yang melonjak 400–1000 persen, jaminan kerja layak, hingga tuntutan penghentian represifitas aparat.
Delapan tuntutan tambahan muncul setelah korban jiwa jatuh, menegaskan desakan akuntabilitas: transparansi anggaran, penegakan hukum atas pelanggaran aparat, hingga jaminan kebebasan berpendapat di ruang publik.
Daftar tuntutan panjang jelas menunjukkan bahwa rakyat bukan hanya menuntut soal uang atau harga, rakyat menuntut martabat, keadilan, dan ruang hidup yang selama ini terasa semakin terhimpit.
Ditengah hiruk-pikuk ini, stoikisme aliran filsafat Yunani kuno sering disebut sebagai obat penenang jiwa. Stoikisme lahir dari dua ribu tahun lalu, namun pesan-pesannya masih ada didunia modern yang penuh tekanan.
Epictetus, filsuf stoik menulis “bukan peristiwa yang mengganggu manusia, melainkan penilaian mereka atas peristiwa itu”. Prinsipnya sederhana, bedakan antara hal yang berada dalam kendali kita dan hal yang diluar kendali. Fokuslah pada yang bisa dikendalikan, dan lepaskan sisanya.
Mungkin sebagian kalangan menganggap itu terasa menyejukkan. Ia mengajarkan manusia agar tidak larut dengan kegaduhan eksternal, melainkan menjaga batin tetap teguh. Meski, stoikisme pernah menjadi panduan Marcus Aurelius dan Kaisar Romawi memimpin di tengah krisis politik.
Namun, apakah ketenangan stoikisme bisa benar-benar dijalani rakyat di Indonesia hari ini?
Tak Ada Stoikisme Bagi Rakyat, ini menunjukkan setelah semua apa yang telah terjadi dan menjadi ketimpangan oleh rakyat, stoikisme yang kerap di populerkan sebagai seni hidup tenang—untuk rakyat tidak.
Terdengar seperti nasihat omong kosong, bagi rakyat realitas bukan sekadar pilihan cara pandang, melainkan soal mandat telah diberikan, soal perut yang harus diisi hari ini juga, bagi rakyat ini letak ketimpangan penerapan stoikisme.
Filsafat itu lahir dari batin refleksi, tetapi kehidupan menuntut solusi konkret untuk rakyat. Namun ketika stoikisme hanya berhenti sebagai wacana pribadi, tentu tidak akan menyentuh persoalan sosial.
Ia bahkan bisa disalahgunakan untuk memberi kebenaran yang dianggap lalai negara, seolah penderitaan rakyat hanyalah soal “mentalitas yang kurang”. Kita perlu menarik lebih jauh. Stoikisme justru menuntut lebih banyak pada para pemimpin.
Stoikisme lebih menekankan ajaran pengendalian diri, kesederhanaan, dan keberanian menghadapi kenyataan tipu daya.
Seneca, filsuf stoik menulis “Seorang pemimpin tidak boleh hidup untuk dirinya sendiri. Ia harus hidup untuk bangsanya.” Seharusnya stoikisme dipahami benar-benar oleh wakil rakyat bahwa mandat diberikan bukan untuk memuaskan nafsu, melainkan melayani rakyat.
Bagi rakyat ini refleksi yang akan membawa kita pada suatu kesadaran. Stoikisme tidak salah, sebagai laku batin ini tetap relevan, sebagai cara menjaga diri ditengah kondisi gaduh.
Namun bagi rakyat, stoikisme tidak akan punya ruang apabila negara gagal menyediakan kehidupan layak tanpa ketimpangan. Sebab kesabaran bukan alasan untuk membiarkan ketidakadilan berjalan terus.
Jika 17+8 tuntutan rakyat dibiarkan menggantung, stoikisme hanya akan menjadi jargon kosong. Pada akhirnya, tak ada stoikisme bagi rakyat bila perut mereka masih lapar, suara mereka dibungkam, dan tuntutan mereka diabaikan.

Tinggalkan Balasan