Tubuh, Kapitalisme, dan Siri’: Menjaga Identitas di Era Globalisasi
Oleh: Aisyah Djauhar
KOPRI PMII IAIN Parepare
Perempuan selalu menjadi hal yang menarik untuk dibahas, baik perjuangan, ilmu, maupun aspek lainnya. Pada tulisan ini, kita akan membahas terkait ‘Kapitalisme dan Tubuh Perempuan’. Saat mendengar kata “kapitalisme” pikiran secara sadar beralih menuju ekonomi; pasar, modal, keuntungan. Kapitalisme tidak hanya berbicara terkait barang diproduksi dan dijual.
Kapitalisme lebih dari itu merupakan cara pandang yang mampu menyusup hampir ke semua sendi kehidupan manusia, bahwa segala sesuatu bisa menjadi komoditas selama ada orang yang mau membeli. Selaras dengan pandangan Karl Max bahwa “kapitalisme melihat barang sebagai komoditas”, yang dapat disimpulkan bahwa sesuatu bernilai jika bisa ditukar dan menghasilkan.
Memasuki abad ke-21, gaya hidup manusia mengalami pergeseran. Arus globalisasi dan derasnya informasi digital menghadirkan berbagai kemudahan, sekaligus membuka ruang baru bagi pasar ekonomi.
Kapitalisme, dengan begitu tidak lagi hadir hanya dipusat-pusat perdagangan atau industri, tetapi sampai pada hal paling personal dalam diri manusia; tubuh. Menjadikan tubuh tidak hadir secara alami, tetapi sebagai sesuatu yang bisa dikemas, ditampilkan, dan dijual.
Industri kecantikan menjanjikan “penampilan ideal”, industri hiburan menempatkan tubuh sebagai tontonan, lalu media sosial hadir mengubah tubuh menjadi konten yang bisa dimonetisasi.
Kapitalisme menjadikan tubuh perempuan sebagai alat mendapatkan keuntungan dengan tuntutan sesuai nilai kecantikan yang diberikan-putih, langsing, rambut lurus, atau bahkan penampilan yang menyerupai gaya barat.
Perempuan bukan hanya dijadikan objek dalam pembuatan iklan, tetapi juga ikon dalam film-film yang mengeksploitasi tubuh secara ekstrem seperti pornografi.
Artikel yang berjudul “Perempuan dalam Iklan: Otonomi atas Tubuh atau Komodifikasi”, menyatakan bahwa terdapat 3 aspek peran perempuan dalam iklan, yakni ; sebagai pelaku dalam industri periklanan, pembawa pesan iklan, target market dari iklan. Hal ini yang membuat perempuan semakin terjebak dalam lingkaran komodifikasi tubuh.
Hal seperti ini, akan mendoktrin manusia, berdampak dengan menjadikan kecantikan hanya berpatokan pada standardisasi kecantikan yang ada di iklan. Mereka yang terdoktrin akan berlomba-lomba untuk mendapatkan sesuai standardisasi tersebut. Tentu, yang mendapat keuntungan adalah pelaku kapitalisme.
Lalu, muncul pertanyaan, apakah dengan membuat tubuh perempuan seperti standardisasi yang diberikan menjadikannya semakin terhormat? Atau justru menghilangkan nilai-nilai unik yang ada di setiap bangsa dan menghilangkan harga diri?
Dibalik gemerlap iklan industrialisasi, terdapat realita yang menunjukkan bagaimana nilai-nilai lokal perlahan tersisihkan. Pasalnya, dunia ini memiliki ciri khasnya masing-masing, termasuk Indonesia. Indonesia pun memiliki berbagai keberagaman termasuk warna kulit, salah satunya berciri khas sawo matang yang dimiliki oleh kebanyakan masyarakat Bugis.
Pada pandangan masyarakat Bugis, Siri’ (harga diri) menjadi pijakan dalam setiap langkah, tidak ada harga diri yang bisa ditukarkan dengan uang. Maka, kapitalisme semacam ini, bertentangan dengan nilai-nilai budaya Bugis yaitu siri’.
Perempuan sejatinya memiliki nilai dan keindahannya sendiri. Kita bisa bersinar dengan keunikan yang lahir dari jati diri, tanpa harus tunduk pada standardisasi kecantikan yang dipaksakan dari luar. Setiap warna kulit, bentuk tubuh, warisan budaya adalah kekuatan yang patut dirayakan, buka digantikan.
Di momentum Kemerdekaan ini, kita perlu menegaskan bahwa kebebasan bukan hanya tentang lepas dari penjajahan fisik, tetapi juga tentang melawan bentuk penjajahan yang berpotensi merusak budaya kita.
Standardisasi kecantikan yang diberikan oleh segelintir pelaku kapitalisme adalah bagian dari penjajahan ketika kita membiarkannya.

Tinggalkan Balasan