Sepotong Rindu di Ujung Senja Mamuju
ANALYSIS.ID, Mamuju – Senja baru saja luruh di cakrawala pukul 18.04 WITA, meninggalkan semburat jingga yang mulai memudar di pesisir Tapandullu. Kecamatan Simboro, Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar). Rabu (24/12/2025).
Di tengah sisa basah air laut yang masih menempel di rambut, sebuah notifikasi WhatsApp memecah kesunyian.
“Assalamualaikum dinda, dimanaki? Ada Ustadz Dirja di Mamuju, rencana mau ajak ngopi,” pesan itu datang dari Nahrang, kakak sepupu yang juga senior di Kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Parepare.
Bagi sang penerima pesan, nama yang disebutkan bukan sekadar nama. Ustadz Dirja atau yang akrab disapa Gus Dirja adalah memori yang tersimpan rapat selama lebih dari lima warsa sejak pertemuan terakhir mereka di Parepare, Sulawesi Selatan.
Ada getaran halus saat jemari menelusuri daftar kontak bertajuk “MSP Senior Gus Dirja”. Di sana, tertera satu panggilan tak terjawab pada pukul 18.02.
Bagi pria ini, panggilan itu seolah “pesan langit” yang dititipkan lewat algoritma aplikasi, sebuah isyarat penting yang tak boleh diabaikan.
Upaya menelepon balik sempat menemui jalan buntu. “Mungkin Gus Dirja sedang khusyuk berdzikir, atau sedang bercengkerama dengan keluarga,” batinnya menerka-nerka dalam diam.
Hasrat untuk bersua tak terbendung. Di hadapan istrinya, ia meminta izin untuk memacu kendaraan menuju jantung Kota Mamuju.
Istrinya, dengan sifat pendiamnya yang khas, hanya mengangguk pelan sebuah restu bisu yang cukup untuk menyalakan mesin motor di teras rumah.
Deru mesin pecah di Desa Tapandullu. Ban FDR yang membungkus pelek motornya menggerus pasir, meninggalkan jejak-jejak tipis sebelum akhirnya melahap aspal menuju kota.
Jarak 20 kilometer dengan lintasan tiga desa diterjangnya dalam waktu 35 menit. Angin malam yang menusuk tak sanggup mendinginkan semangat yang sedang membara.
Setibanya di pelataran Richeese Factory Mamuju, sosok yang dicari itu berdiri di sana. Dari jarak sepuluh meter, bayangan Gus Dirja tampak nyata. Bagi sang junior, Gus Dirja bukan sekadar senior; ia adalah sumur ilmu dan energi yang seolah tak pernah kering.
Rindu yang selama lima tahun belakangan mulai meredup, seketika berkobar kembali, tertancap dalam di alam bawah sadar. Rasa haru, takjub, dan bahagia berkelindan jadi satu saat kedua tangan mereka bertaut dalam jabat erat yang hangat.
“Mohon berkahnya, Senior,” bisiknya lirih, merayakan sebuah pertemuan yang tak sekadar tentang kopi, tapi tentang merawat kembali tunas spiritualitas dan persaudaraan yang sempat tertunda waktu.

Tinggalkan Balasan