Antara Bencana, Takdir dan Ketidakjelasan Pemerintah

Burhanuddin Elbusiry (Penerjemah dan Dosen Filsafat Timur STF Al-Farabi Malang. (Dok. Istimewa).

Oleh: Burhanuddin Elbusiry (Penerjemah dan Dosen Filsafat Timur STF Al-Farabi Malang).


Malang – Indonesia di satu sisi adalah negeri yang dibentuk oleh bencana. Mulai dari Aceh yang diguncang tsunami 2004, Palu yang terbelah oleh likuifasi, letusan gunung berapi yang nyaris menjadi rutinan, hingga banjir yang datang silih berganti. Jika diteliti dengan seksama sebagian besar kejadian ini bukan sekadar bencana alam, melainkan peringatan historis yang terus berulang. Namun, anehnya, di negeri yang sedemikian akrab dengan bencana ini, kesadaran mitigasi justru masih tertatih dan belum menjadi prioritas pemerintah. Ini sungguh disayangkan.

Kita kerap menyebut ini sebagai takdir, musibah, maupun cobaan (bukan cobain loh yah), dan menganggap seolah alam bekerja di luar rasio manusia sepenuhnya. Padahal, dalam banyak kasus, bencana bukan semata peristiwa alamiah, melainkan hasil dari kegagalan kebijakan, keserakahan ekonomi para bromocorah, ketidakbecusan dan ketidakseriusan negara dalam memandang sains di satu sisi serta ketidakberpihakan kebijakan politik di sisi lain. Dan ini betul-betul bangsat.

Saat ini, pendekatan saintifik sudah cukup memadai dalam membaca dan mengelola resiko bencana. Data geologi, klimatologi, tata ruang, hingga kajian lingkungan hidup sudah tersedia dan semakin berkembang. Para peneliti juga telah lama memperingatkan bahaya deforestasi, pembalakan liar, penanaman pohon monokultur seperti sawit, pertambangan illegal dan legal—tetapi tetap saja merusak dan seolah dibiarkan oleh pemerintah kita sendiri—, pembangunan di zona patahan atau daerah aliran air sungai, serta kawasan yang berfungsi menahan banjir dan longsor. Tetapi peringatan itu sering kali kalah oleh proyek-proyek besar: tambang yang sejak dulu meresahkan, penggundulan hutan atas nama investasi, serta berbagai hilirisasi yang kian digembor-gemborkan sebagai jalan menuju kemajuan, namun hari ini kian terbukti merusak lingkungan dan manusia. uuh!

Masalahnya, saya kira, bukan karena ketiadaan ilmu, melainkan ketidakjelasan pemerintah. Pemerintah kita seolah berdiri di dua kaki yang saling menyerimpung satu sama lain. Di satu sisi mengklaim berbasis sains dan teknologi, terutama ketika kampanye dengan gaya bahasa populisme teknokratik. Dan ini menyebalkan serta memuakkan. Di sisi lain, menggunakan narasi moral-religius untuk meninabobokkan rakyat sembari menyembunyikan ketidakbecusan. Dan ini sangat menjijikkan nan menjengkelkan.

Tidak jarang pula bencana disambut dengan doa bersama dan ritual. Tentu itu sah-sah saja sebagai ekspresi kultural dan spiritual, tetapi menjadi bermasalah ketika mengabaikan apalagi menggantikan evaluasi struktural dan kebijakan yang berbasis bukti empirik-saintifik. Dan pada gilirannya, alih-alih agama dirahkan untuk evaluasi dan perubahan sistemik, perbaikan kebijakan, dan penegakan hukum di berbagai sektor, ia justru kerap kali dipelintir dan dijadikan penghiburan bahkan pembenaran.

Pada episentrum inilah, kebingungan itu tampak sedemikian jelas. Apakah negara ini berpihak pada penelitian ilmiah atau pada tafsir moral yang seringkali ambigu? Jika pemerintah berpihak pada sains, mengapa pendapat dan rekomendasi para ahli acap kali diabaikan? Jika pemerintah mendukung prinsip moral keagamaan, mengapa nilai keadilan ekologis, tanggung jawab lintas generasi, dan perlindungan terhadap yang rentan justru tidak diseriusi dan direken? Dan, parahnya, ketika agama direduksi menjadi simbol, pemanis, dan retorika belaka, ia akan kehilangan daya humanisnya. Demikian halnya, ketika sains hanya dijadikan pelengkap pidato dan kepentingan pemilu, daya transformatifnya justru akan lumpuh.

Kasus banjir Aceh baru-baru ini, semisal, adalah contoh paling nyata bagaimana kegagalan mitigasi dan tata kelola lingkungan yang memperburuk dampak bencana. Di akhir November hingga awal Desember 2025, Aceh dilanda banjir dan longsor yang sangat parah. Per hari ini, Rabu (17/12/2025), rilis terbaru korban banjir dan longsor Aceh, Sumatera Utara dan Barat mencapai 1.053 yang meninggal dunia, 7.000 terluka dan 200 orang masih dinyatakan hilang. Itu pun masih belum ditetapkan sebagai bencana nasional dengan berbagai alasan, mulai dari pemerintah mengklaim bisa mengatasinya sendiri sampai pada tidak memenuhinya syarat berdasarkan Undang-Undang dan pertimbangan-pertimbangan lain yang tidak sepenuhnya berpihak pada korban. Belum lagi ketika ada politikus jahannam yang datang dan menjadikannya sebagai ajang pencitraan dan komodifikasi duka serta eksploitasi bencana. Dan ini betul-betul di luar dugaan. Bahkan abu jahal dan firaun sekalipun sulit menerima ini, saya kira.

Lalu, apa yang membuat banjir Aceh dan serentetan bencana lainnya bukan lagi sekadar peristiwa biasa? Analisis lingkungan Aceh sebagaimana yang diunggah oleh ANTARA News menunjukkan bahwa kondisi DAS (Daerah Aliran Sungai) dan hulu sungai mengalami degradasi serius. Aktivitas penebangan dan pembukaan lahan di hulu sungai untuk perkebunan dan tambang illegal mengurangi kemampuan tanah menyerap air sehingga mempercepat aliran massa air ke pemukiman. Di banyak daerah, hujan ekstrem yang biasanya diserap oleh sistem hidrologi alam menjadi malapetaka lantaran wilayah hulu kehilangan fungsi ekologisnya. Ini tentu bukanlah fenomena alam semata, melainkan fenomena yang dipengaruhi oleh keputusan politik dan kuasa.

Kita justru bertanya-tanya mengapa bencana alam yang silih berganti ini tak kunjung bisa dideteksi lebih awal dan kerap kali gagal dimitigasi? Bukankah negeri ini punya teknologi pendeteksi? Bukankah kita punya peta wilayah yang rawan? Bukankah sudah ada berbagai kajian, baik itu banjir, tanah longsor dan sebagainya di negeri ini? lalu mengapa pertambangan, penebangan liar dan tindakan yang menyalahi hukum alam ini tetap dibiarkan, seolah resiko hanyalah catatan kaki yang tidak penting? Mengapa bencana-bencana yang disebabkan oleh kerakusan dan ketamakan sekawanan oligark, ketidakberpihakan kebijakan, keputusan politik yang tumpang tindih, masih disebut sebagai bencana alam? Mengapa kata “alam” seringkali dijadikan kambing hitam, sementara kebijakan mitigasi sendiri tidak pernah betul-betul direalisasikan? Mengapa? Mengapa? Mengapa kisanak? Bedebah.

Mengapa berbagai proyek seringkali dipromosikan sebagai lompatan ekonomi dan kedaulatan industri, tetapi tidak memperhatikan dampak lingkungan? Mengapa ketika pesisir rusak, udara tercemar, dan masyarakat adat tersingkir negara seringkali hadir bukan sebagai pelindung melainkan fasilitator kerusakan? Di titik ini sains lingkungan dan prinsip moral agama diabaikan bukan lantaran tidak ada, melainkan karena tidak menguntungkan baik secara politik maupun ekonomi. Dan saya menduga, tapi ini dugaan kuat, ini juga karena tidak ada kelaminnya, bukan? Hmm…ayo ngaku!

Nah, pada akhirnya, persoalan ini bukanlah pertentangan antara sains dan agama, melainkan kegagalan negara dalam menempatkan keduanya secara jujur dan bertanggung jawab. Sains hari ini seharusnya memandu kebijakan, sementara agama memperkuat etika perlindungan kehidupan yang memanusiakan. Namun, ketika keduanya diperalat, yang tersisa hanyalah kebingungan dan korban yang terus berguguran.

Sekali lagi, Indonesia tidak kekurangan pengetahuan, juga tidak kekurangan pijakan yang bernilai, tetapi tidak adanya kejelasan keberpihakan dan nir-keberanian politik untuk menolak proyek yang merusak meski bernilai triliunan. Olehnya, selama pemerintah terus ambigu—berpura-pura ilmiah tapi takut pada kepentingan, berbicara moral tetapi abai pada keadilan—bencana ini akan terus berulang, bukan sebagai takdir, melainkan sebagai kegagalan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi yang akan datang.

Terakhir, saya sebagai penulis, mendedikasikan essai singkat ini kepada saudara-saudara saya di Aceh yang terdampak. Juga kepada teman-teman yang pernah membersamai saya selama saya di Aceh. Dan kepada perempuan Lauksumawe tercantik yang menjadi lawan debat saya 2017 lalu, semoga engkau baik-baik saja. Teruntuk semua korban, Al-fatihah. Salam takzim.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini
Tutup