Kesehatan Mental Mahasiswa, Di Balik Tawa dan Tugas yang Tak Pernah Usai

Penulis: Andi Gustira, Mahasiswa IAIN Parepare

Penulis: Andi Gustira, Mahasiswa IAIN Parepare


Kadang saya bertanya dalam hati, sejak kapan kita belajar berpura-pura kuat. Di kelas kita tertawa, bercanda tentang tugas yang menumpuk, dan di grup WhatsApp meme berseliweran. Semua terlihat biasa saja. Namun, di balik itu ada malam-malam panjang ketika kita duduk sendirian, menatap layar laptop, dan tidak tahu harus mulai mengeluh kepada siapa. Di permukaan semuanya tampak cerah, tetapi di dalam dada ada badai yang bergerak tanpa suara.

Sebagai mahasiswa semester 5 di IAIN Parepare, saya merasakan hal itu hampir setiap hari. Saat teman-teman membicarakan rencana liburan, saya masih sibuk mengerjakan tugas kampus yang menumpuk, ekspektasi akademik terasa menekan, dan kegiatan organisasi tetap menuntut waktu serta energi. Rasanya seperti berlari di atas treadmill, capek dan napas tersengal, tetapi tidak pernah benar-benar sampai di tujuan.

Survei kesehatan mental mahasiswa pada tahun 2024 menunjukkan bahwa lebih dari enam puluh persen mahasiswa Indonesia mengalami stres tinggi, dan sekitar tiga puluh persen menunjukkan tanda depresi. Namun, angka-angka itu bagi saya bukan hanya data. Itu adalah wajah teman-teman yang tersenyum padahal matanya sembab, dan mereka yang bercanda padahal bahunya gemetar menahan lelah. Psikolog Dr. Ratna Sari pernah berkata bahwa self care adalah fondasi produktivitas. Kalimat itu melekat di kepala saya karena masuk akal. Jika kita habis, maka semua prestasi menjadi tidak berarti.

Stigma tentang kesehatan mental masih kuat. Kadang orang tua berkata bahwa kita hanya kurang kuat. Dosen menasihati agar kita sekadar mengatur waktu. Teman berkata untuk santai karena besok tugas pasti selesai. Akhirnya banyak dari kita memilih diam karena takut disebut lemah. Kita tertawa di depan orang lain, tetapi menangis atau terdiam lama sendirian di kamar. Kadang saya berpikir, mungkin hampir semua mahasiswa sebenarnya hanya berpura-pura baik-baik saja.

Saya punya seorang teman organisasi yang selalu tampak kuat. Di depan umum ia ceria, tetapi malam-malamnya sering ia habiskan untuk begadang. Suatu malam ia berkata kepada saya bahwa ia kadang lelah berpura-pura. Kalimat itu menusuk hati saya. Saya pun pernah berkata kepada diri sendiri bahwa saya harus terlihat kuat dulu. Mungkin kita terlalu sering menilai orang lain hanya dari apa yang tampak di luar.

Begadang sudah menjadi hal yang wajar bagi banyak mahasiswa. Lampu kamar yang redup, suara kipas angin yang berputar pelan, ketukan keyboard yang tidak pernah berhenti, dan aroma kopi yang menempel di meja belajar menjadi teman di malam-malam panjang itu. Mata terasa berat, tangan gemetar, tetapi pikiran terus berputar tanpa berhenti.

Meski begitu, ada kabar baik. Kita bisa memulai dari hal kecil. Beberapa kampus sudah menyediakan layanan konseling atau ruang berbagi dengan sesama mahasiswa. Jika kampus belum menyediakan, hal sederhana pun bisa membantu. Menyusun jadwal belajar yang realistis, tidur cukup, dan meluangkan tiga puluh menit tanpa gadget dapat memberikan ruang bagi pikiran. Berjalan santai di halaman kampus, mebaca buku, atau duduk diam sambil menatap indahnya senja dapat memberi rasa lega yang sederhana tetapi berharga.

Peduli pada diri sendiri bukanlah tanda kelemahan. Mengakui lelah dan menetapkan batas justru menunjukkan keberanian. Kita tidak menyerah, kita hanya menjaga kemampuan diri agar tetap bertahan. Selain menjaga diri sendiri, kita juga bisa peduli pada orang lain. Tanyakan apakah teman kita baik-baik saja, dan dengarkan tanpa merasa harus memberi solusi. Kadang kehadiran yang tulus lebih berarti daripada kata-kata panjang.

Saya pernah duduk bersama seorang teman di kampus. Kami tidak banyak berbicara, hanya mendengarkan angin yang lewat dan membiarkan pikiran masing-masing berjalan perlahan. Di momen itu saya belajar bahwa empati tidak selalu membutuhkan kalimat yang besar. Kadang cukup dengan hadir dan mendengarkan, seseorang bisa merasa lebih ringan.

Di balik tawa dan tugas yang semakin menumpuk ada pelajaran penting yang perlahan kita pahami. Menjadi mahasiswa bukan hanya tentang menyelesaikan tugas atau mengejar nilai tinggi, tetapi juga tentang belajar menjadi manusia yang utuh. Kesehatan mental adalah dasar dari semua pencapaian. Tanpa itu, semua prestasi terasa hampa.

Sudahkah kamu memberi waktu untuk dirimu hari ini?. Bernapaslah sejenak. Kamu tidak sendiri. Kesehatan mental bukan kemewahan, tetapi kebutuhan. Mulailah dari hal kecil dan jangan ragu untuk meminta bantuan ketika benar-benar membutuhkannya. Bahkan satu percakapan ringan atau satu menit untuk berhenti sejenak bisa menjadi jalan kembali pada diri sendiri.

Ketika kita mulai peduli pada kesehatan mental, suasana kampus juga perlahan berubah. Mahasiswa menjadi lebih berani mengakui bahwa mereka kewalahan, dan stigma mulai terkikis. Kita belajar bahwa kekuatan bukan diukur dari siapa yang paling sibuk atau paling produktif, tetapi dari siapa yang mampu menjaga kejernihan pikirannya di tengah tekanan yang terus datang.

Di akhir kata, kesehatan mentalmu adalah hak, bukan pilihan. Jaga dirimu dan jaga temanmu. Kita semua layak bernapas lega. Jika suatu hari dunia terasa terlalu berat, berhenti sejenak tidak berarti gagal. Itu adalah cara tubuh dan hati memintamu untuk kembali pulih agar bisa melangkah lagi dengan lebih utuh.

Penutup

Kita tidak harus memenangkan semua hari, tetapi kita harus tetap hadir bagi diri kita sendiri. Dunia kampus bisa melelahkan, tetapi hidup selalu memberi ruang bagi siapa pun yang ingin tumbuh perlahan. Bila hari ini terasa berat, ingatlah bahwa kamu tetap layak untuk diperjuangkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini
Tutup