Di Bawah Sorotan Kamera: Dakwah Digital antara Cahaya dan Bahaya Membaca Kasus Gus Elham dengan Kacamata Fiqh Prioritas
Oleh: Prof. Kyai Hannani (Rektor IAIN Parepare/Pimpinan Pondok Pesantren Zubdatur Asrar NU Parepare)
Opini ini lahir dari diskusi hangat di kelas Pascasarjana pada mata kuliah Ushul Fiqh. Para mahasiswa diajak menelaah realitas sosial dengan pendekatan fiqh al-awlawiyyat (fiqh prioritas). Kasus yang menjadi sorotan adalah video viral seorang pendakwah muda, Gus Elham, yang tampak mencium anak-anak dalam sebuah kegiatan dakwah. Peristiwa ini menjadi contoh nyata bagaimana antara syiar agama dan perlindungan anak dapat saling berhadapan dalam ruang publik yang semakin sensitif di era digital.
Diskusi itu menyadarkan kami bahwa fiqh tidak bisa semata dibaca secara tekstual. Ia harus disandingkan dengan konteks. Di era serba daring, tindakan personal dapat menjadi konsumsi nasional, dan kesalahan kecil dapat melahirkan persepsi besar. Karena itu, fiqh prioritas menjadi sangat relevan. Ia mengajarkan bahwa tidak semua amal memiliki bobot yang sama. Ada hal-hal yang wajib didahulukan karena lebih maslahat dan lebih selaras dengan tujuan syariah.
Syiar Penting, Tetapi Anak Lebih Utama
Dakwah adalah tugas mulia yang menjadi jantung umat Islam. Namun, syiar tidak berdiri sendiri. Ia harus berjalan beriringan dengan prinsip keadaban, perlindungan martabat, dan pemeliharaan nilai-nilai inti syariat. Para ulama maqasid telah menjelaskan bahwa menjaga jiwa dan keturunan yang dalam konteks modern mencakup perlindungan anak adalah kebutuhan darurat (daruriyyah) yang tidak boleh dikompromikan.
Maka, saat terjadi ketegangan antara syiar dan perlindungan anak, fiqh prioritas mengajarkan bahwa anak harus menjadi prioritas utama. Kaidah fikih menegaskan: mencegah kerusakan lebih diutamakan daripada mengejar manfaat. Artinya, jika suatu metode dakwah, meski diniatkan baik, justru menimbulkan potensi trauma, ketidaknyamanan, atau stigma negatif, maka ia perlu dikoreksi. Koreksi ini bukan dalam rangka mencela pribadi, tetapi dalam rangka menjaga nilai dan adab dakwah itu sendiri.
Etika Dakwah Tidak Bisa Ditawar
Tanggapan berbagai pihak memperjelas bahwa publik kini semakin menaruh perhatian serius terhadap etika dakwah. Rais Aam PBNU secara terbuka meminta aparat bertindak tegas dan organisasi keagamaan mengambil langkah pembinaan. Pesan pentingnya: pendakwah wajib menjaga batasan interaksi, terlebih dengan anak. Anak adalah subjek rentan yang harus dijauhkan dari potensi eksploitasi, baik fisik maupun simbolik.
PBNU juga menekankan pentingnya pembinaan pendakwah muda. Di tengah derasnya arus media sosial, banyak pendakwah yang naik daun lewat platform digital. Popularitas yang datang cepat sering kali tidak diiringi dengan kedalaman ilmu dan kepekaan sosial. Di sinilah peran organisasi keagamaan untuk mendampingi dan mengarahkan agar para dai muda tidak kehilangan pijakan etika dalam berdakwah.
Suara Pemerhati Anak: Tidak Ada Ruang untuk Pembiaran
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan para psikolog menyoroti bahwa sentuhan fisik tanpa konteks yang jelas bisa dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap perlindungan anak. Anak tidak selalu bisa mengungkapkan rasa tidak nyaman. Diamnya anak bukan berarti ia setuju. Lebih dari itu, di ruang publik, di mana setiap momen bisa direkam dan disebarluaskan, tindakan yang terlihat “biasa” bisa menjadi bencana persepsi.
Masyarakat berhak dan patut mengkritisi tindakan publik yang melibatkan anak. Bukan untuk menghakimi semata, tetapi untuk menjaga ruang aman bagi tumbuh kembang mereka. Perlindungan anak adalah tanggung jawab kolektif, bukan hanya urusan keluarga atau pemerintah. Di era digital, setiap orang dewasa perlu lebih sadar bahwa gestur yang keliru bisa berakibat panjang pada psikologi anak maupun persepsi masyarakat.
Pendakwah di Era Digital
Pendakwah hari ini bukan hanya figur religius, tetapi juga figur publik. Mereka bukan sekadar menyampaikan isi ceramah, tapi juga membangun citra keagamaan di hadapan publik luas. Dalam dunia yang hiperterhubung, satu video bisa menjadi wajah Islam di mata ribuan, bahkan jutaan orang.
Karena itu, setiap pendakwah harus memahami sensitivitas ruang dan waktu. Mereka perlu membaca kultur, memahami dinamika media, serta menjaga marwah dakwah dari bentuk-bentuk yang bisa menimbulkan fitnah. Apalagi ketika dakwah bersinggungan dengan kelompok rentan seperti anak-anak, kehati-hatian bukanlah pilihan, tapi keharusan.
Dakwah adalah misi rahmah. Ia harus mengandung kasih sayang, tetapi tidak boleh kebablasan hingga mengabaikan kehormatan orang lain. Tujuan tidak membenarkan cara. Metode harus selaras dengan maqasid, bukan semata “niat baik”.
Solusi: Saatnya Etika Dakwah Diperjelas
Kasus ini harus menjadi pemantik untuk membangun kerangka dakwah yang lebih beradab dan berpihak pada kelompok lemah. Organisasi keagamaan perlu menyusun kode etik dakwah yang jelas, termasuk batasan interaksi fisik dengan anak. Dai muda perlu dibekali pemahaman psikologi anak dan literasi media agar tidak salah langkah di ruang publik. Mekanisme pembinaan dan pengawasan pun harus diperkuat agar kesalahan tidak berulang.
Pendakwah sendiri harus berani menghindari tindakan fisik yang bisa disalahpahami. Popularitas tidak boleh mengalahkan prinsip. Kehormatan anak, martabat dakwah, dan kemaslahatan publik harus menjadi pertimbangan utama sebelum melakukan apa pun di hadapan kamera atau khalayak.
Pemerintah dan KPAI dapat memperkuat regulasi perlindungan anak di semua sektor, termasuk kegiatan keagamaan. Edukasi kepada masyarakat dan ormas tentang perlindungan anak perlu dilakukan secara kolaboratif agar standar etika ini terinternalisasi dalam praktik keagamaan harian.
Masyarakat dan orang tua juga memegang peran penting. Mengawasi interaksi anak dalam acara publik, membekali anak keberanian untuk berkata tidak, serta menjaga kritik agar tetap proporsional, adalah bagian dari literasi sosial yang kini menjadi kebutuhan bersama.
Penutup
Diskusi kelas Pascasarjana itu membuktikan bahwa fiqh bukan sekadar ilmu, tetapi panduan moral dalam menghadapi realitas. Kasus Gus Elham mengingatkan bahwa syiar agama, betapapun pentingnya, tidak boleh mengabaikan perlindungan anak. Keselamatan, kenyamanan, dan kehormatan anak adalah amanah yang lebih utama.
Dakwah tetaplah cahaya, tapi cahaya itu harus menerangi bukan menyilaukan. Ia harus menyentuh hati, bukan mengganggu rasa aman. Dengan fiqh prioritas, kita diajak menimbang dengan arif: kapan bicara, kapan diam, dan mana yang harus lebih dulu dijaga. Dalam hal ini, jelas: kehormatan dan keselamatan anak adalah prioritas yang tidak bisa ditawar.

Tinggalkan Balasan