OPINI: KKN Nusantara di Yogya, Jejak Cinta dan Kenangan yang Tak Tergantikan

Oleh: Muh. Fachrul Ananta (Mahasiswa IAIN Parepare)


Ada kalanya sebuah perjalanan tidak hanya meninggalkan jejak di tanah yang kita pijak, tetapi juga di hati yang kita bawa pulang. KKN Nusantara di yogyakarta adalah salah satunya. Ia bukan sekadar agenda akademik, bukan sekadar program pengabdian, melainkan perjumpaan yang melahirkan cerita, menorehkan kesan, dan mengajarkan arti kebersamaan.

yogyakarta menyambut dengan ramah, dengan senyum yang seakan tak pernah lekang meski waktu berjalan lambat di kotanya. Dari hangatnya sapaan masyarakat desa, keramahan pedagang kecil, hingga tangan terbuka dari warga yang merasa kita bagian dari mereka, semua memberi rasa pulang di tempat yang sejatinya baru pertama kali disinggahi.

Budaya toleransi begitu hidup di sini. yogyakarta seakan membisikkan pesan sederhana: perbedaan bukan untuk ditakuti, tetapi untuk dipeluk. Harmoni itu kita rasakan ketika mahasiswa dari berbagai daerah dari timur hingga barat Nusantara duduk semeja, bekerja bersama, bercanda di tengah lelah, dan saling menguatkan. Dari Sabang sampai Merauke, dari Minangkabau hingga Bugis, dari Sunda hingga Papua semua terwakili. Teman-teman yang menarik dengan cerita hidupnya masing-masing, seakan menambah mozaik warna yang membuat pengalaman ini tak akan pernah tergantikan.

yogyakarta, sebagai kota pendidikan, benar-benar menegaskan dirinya sebagai ruang belajar yang unik. Tidak hanya di dalam kelas atau ruang akademik, tetapi juga di jalanan, di pasar tradisional, di alun-alun, di angkringan sederhana tempat kita menutup malam dengan obrolan panjang. Di sini, kita belajar bahwa ilmu bukan semata-mata teori, tetapi juga nilai hidup: kesederhanaan, kerendahan hati, dan semangat untuk terus memberi.

Ada sesuatu yang tak bisa sepenuhnya dirangkai dengan kata-kata ketika berbicara tentang pengalaman di Pedukuhan Tosari, Desa Banjarasri, Kecamatan Kalibawang. Di tempat sederhana itulah, kami menemukan makna sejati dari pengabdian: bertemu dengan orang-orang istimewa yang menyambut tanpa syarat, menerima kami apa adanya, bahkan dengan segala kekurangan yang kami bawa sebagai manusia biasa.

Ramah tamah warga seakan menjadi bahasa universal yang menyatukan kami dengan mereka. Senyum tulus ibu-ibu ketika kami datang berkunjung, sapaan hangat bapak-bapak di jalan desa, hingga celoteh anak-anak yang riang tanpa dibuat-buat semuanya adalah pelajaran hidup yang tak bisa ditemukan di ruang kuliah mana pun. Di sana, kami belajar bahwa pengabdian bukan tentang memberi, melainkan tentang saling mengisi dan menerima.

Pedukuhan Tosari adalah ruang belajar tanpa papan tulis, tanpa spidol, tetapi dengan kehidupan yang begitu nyata. Kami belajar untuk rendah hati, untuk mendengar lebih banyak daripada bicara, untuk melihat lebih dalam daripada sekadar memandang. Dari warga Tosari, kami memahami bahwa kekurangan bukanlah kelemahan, melainkan jembatan untuk saling melengkapi.

Kenangan di Banjarasri akan selalu mengikat hati dengan cara yang sederhana tapi mendalam. Tempat itu mengajarkan bahwa hidup tidak harus sempurna untuk bisa bermakna, cukup dijalani dengan ketulusan, keramahan, dan rasa saling menerima. Dan itulah yang membuat KKN Nusantara ini menjadi kisah tak tergantikan kisah yang akan selalu kami bawa pulang ke mana pun kaki ini melangkah.

Tak kalah berkesan adalah pengalaman kami mengikuti tirakatan di malam 17 Agustus bersama warga Pedukuhan Tosari. Malam itu sederhana, tanpa gemerlap cahaya kota, tapi justru di situlah letak keistimewaannya. Doa-doa dipanjatkan, cerita-cerita perjuangan dibacakan, dan rasa syukur dikembalikan kepada Sang Pencipta atas nikmat kemerdekaan yang telah diwariskan para pahlawan.

Pada akhirnya, KKN Nusantara di yogyakarta, khususnya di Pedukuhan Tosari, Desa Banjarasri, Kecamatan Kalibawang, bukan hanya perjalanan akademik, tetapi perjalanan hati. Dari ramahnya masyarakat, hangatnya kebersamaan, hingga pengalaman tirakatan di malam 17 Agustus yang begitu penuh makna, semuanya menjelma menjadi pelajaran hidup yang tak tergantikan. Kami belajar menerima kekurangan, belajar arti toleransi, hingga belajar bagaimana mencintai tanah air dengan cara yang sederhana namun mendalam.

Dan ketika langkah ini harus pulang, hanya kenanganlah yang tetap tinggal. Kenangan tentang teman-teman dari berbagai penjuru negeri, tentang warga yang tulus menerima, tentang yogyakarta yang mengajarkan arti sederhana dari kata “rumah”. Kami sadar, kota ini hanya sementara disinggahi, tapi jejaknya akan abadi dalam ingatan.

Mungkin kita tak bisa kembali ke hari-hari itu, tapi biarlah cinta dan kenangan yang tumbuh di yogyakarta dan Banjarasri menjadi bekal perjalanan. Sebab yang paling indah dari sebuah perpisahan bukanlah melepas, melainkan menyimpan kisah yang akan selalu hidup, meski kita sudah jauh melangkah.

Namun, di balik semua keindahan itu, ada satu hal yang harus diingat: jangan jatuh cinta terlalu dalam pada kota yang hanya sementara disinggahi. Biarkan yogyakarta menjadi rumah singgah yang penuh makna, bukan candu yang mengekang langkah kita. Cukuplah segala cinta, tawa, dan air mata yang kita temui di sini menjadi kenangan yang tak tergantikan bekal untuk melangkah ke depan, bukan alasan untuk terjebak dalam romantisme yang fana. Karena sejatinya, perjalanan ini bukan tentang meninggalkan hati di yogyakarta, melainkan membawa pulang nilai dan kenangan dari yogyakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini
Tutup