Konflik Tapalang Dibiarkan, Aktivis Jol Soroti Kapolda Baru Sulbar: Negara Absen di Tengah Warga Bertikai

ANALYSIS.ID, Mamuju —  Konflik antarwarga kembali membara di Tapalang, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat (Sulbar). Senjata tajam kembali terhunus di jalanan. Sementara itu, aparat penegak hukum memilih diam. Pertanyaan menggantung di ruang publik: ke mana polisi?

Sejak konflik mencuat, warga mengeluh tak ada satu pun aparat hadir di lokasi bentrokan. Padahal, ini bukan konflik sepele. Dua kelompok warga nyaris saling tikam, membawa parang di siang bolong. Negara seolah hilang kendali. Polisi seakan menjadi penonton.

Melalui itu, Aktivis Jaringan Oposisi Loyal (JOL) Nasional, Muh Ikbal, mendesak aparat segera turun tangan. Ia menyoroti lambannya respons kepolisian, bahkan setelah Sulawesi Barat memiliki Kapolda baru, Irjen Pol. Adi Deriyan Jayamarta, S.I.K., M.H.

“Kenapa konflik seperti ini terus-menerus dibiarkan? Harus menunggu korban jiwa dulu baru bergerak?” kata Ikbal dalam pernyataannya, Jumat (22/08/2025).

Ikbal melontarkan kritik keras: “Kalau APH tidak becus kerja, untuk apa rakyat membayar pajak menggaji mereka?”

Baginya, pembiaran ini bukan sekadar kelalaian, tapi pengkhianatan terhadap mandat hukum. Ia menegaskan, dasar hukum tugas kepolisian jelas:

Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002: Tugas pokok Polri adalah memelihara keamanan, menegakkan hukum, dan melindungi masyarakat.

Pasal 14 ayat (1) huruf b UU 2/2002: Polisi wajib mencegah gangguan keamanan.

Pasal 93 dan 170 KUHP: Larangan penggunaan senjata tajam yang mengancam nyawa.

Perkap Nomor 1 Tahun 2019: Polisi wajib mencegah konflik sejak dini.

Namun, aturan tinggal aturan. Realitas di Tapalang menunjukkan hal sebaliknya.

“Ketika masyarakat turun ke jalan membawa senjata tajam, itu bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi bukti negara tidak hadir,” kata Ikbal.

JOL Nasional mendesak Kapolri mengevaluasi jajaran Polda Sulbar di bawah kepemimpinan Adi Deriyan. Sebab, pembiaran ini dianggap sebagai bukti nyata kegagalan Polri menjalankan amanat konstitusi.

“Kalau aparat terus gagal bertindak preventif, krisis kepercayaan terhadap institusi hukum akan semakin dalam. Negara seharusnya melindungi, bukan membiarkan rakyatnya saling melukai,” ujarnya.

Konflik Tapalang kini menjadi cermin: apakah hukum masih berfungsi untuk mencegah kekerasan, atau kita harus menunggu darah tumpah dulu sebelum polisi muncul?(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini
Tutup