Mempertanyakan Nasionalisme Kaum Velocity

Muhammad Suryadi R, (Penulis Sewaktu-waktu dan Mahasiswa Pascasarjana IAIN Parepare).

Oleh : Muhammad Suryadi R, (Penulis Sewaktu-waktu dan Mahasiswa Pascasarjana IAIN Parepare)


Di tengah kondisi bangsa yang carut-marut, kita perlu mengarusutamakan pentingnya kesadaran. Pasalnya, sejak kebijakan efisiensi dan munculnya lembaga teranyar (Danantara) pemerintahan baru.

Danantara yang sesuai penjelasan Presiden Prabowo adalah lembaga penguatan ekonomi dengan skema distribusi dan alokasi melalui efisiensi anggaran dan deviden BUMN BUMN ke lembaga tersebut. Daya Anagata Nusantara yang selanjutnya disingkat Danantara menurut Presiden Prabowo ingin mencontoh Temasek, lembaga kepunyaan Singapura.

Melalui Danantara, diharapkan investasi dapat dikelola dengan efektif dan efisien. Kendati demikian, kegaduhan bangsa ini justru bermula dari beberapa kebijakan baru terutama efisiensi anggaran pasca diteken berdasarkan Inpres Nomor 1 Tahun 2025.  Belum lagi pengesahan revisi UUD TNI yang saat ini disambut penolakan dan demonstrasi di sejumlah titik di Indonesia.

Dikutip dari IDN Times, 20 Maret 2025, aksi penolakan terjadi di 58 titik di seluruh wilayah Indonesia. Massa aksi berasal dari Badan Eksekutif Mahasiswa, Koalisi Masyarakat Sipil, hingga aliansi kelompok Ibu-ibu (kompas.co.id, 28 Maret 2025).

Dalam konteks Revisi UU TNI, kebijakan ini telah membelah masyarakat kita ke dalam beberapa kelompok. Menurut penulis, sekurang-kurangnya terbagi menjadi tiga kelompok besar; Kelompok Pro, Kelompok Kontra, dan Kelompok Apatis.

Jika diidentifikasi satu persatu, maka kita bisa dengan mudah mengklasifikasi kelompok mana terafiliasi ke kelompok apa. Kita bisa menggunakan banyak macam variabel, tagar, ataupun postingan/reels di kanal sosial media yang berseliweran.

Identifikasi sementara penulis menemukan bahwa kelompok pro adalah pemerintah (legislatif-eksekutif) dan kelompok organisasi yang terafiliasi pemerintah atau masyarakat yang mendukung kebijakan tersebut.

Sementara, kelompok kontra yaitu kelompok massa aksi, kelompok seniman, kelompok cendekiawan, civitas akademika dan masyarakat yang menolak UU TNI melalui postingan dan stori instagram, facebook, tiktok dan semacamnya.

Sedangkan, kelompok apatis adalah mereka yang teridentifikasi dari berbagai jenis circle.  Circel-nya bermacam-macam. Circel berdasarkan organisasi, circel pertemanan, atau relasi circle yang menghubungkan mereka.

Keberadaan Kaum Velocity

Kelompok apatis yang telah disinggung sebelumnya beberapa diantaranya ada satu kelompok yang sangat mencolok dan dominan. Mereka mendapat banyak pengikut dan tidak butuh waktu lama kemudian menjadi viral, sebut saja Kaum Velocity.

Disebut kaum karena jumlah mereka banyak dan tersebar di setiap sudut-sudut ruangan; rumah, warung, cafe, sekolah, kampus dan lain sebagainya.

Keberadaan kaum ini telah menarik perhatian banyak kelompok termasuk kelompok pro dan kelompok kontra. Mereka (kaum velocity) bahkan eksis di tengah penolakan Revisi UU TNI.

Cikal bakal kemunculan kaum velocity, dalam pengamatan penulis, dimulai di awal-awal ramadhan. Di Indonesia, istilah velocity ini dicomot dan diviralkan melalui Tiktok.

Sebenarnya, velocity ini bermakna kecepatan secara harfiah dalam bahasa Inggris. Namun, diadopsi dan dikodifikasi menjadi istilah gaul. Di tangan anak gaul, velocity kemudian berubah bentuk menjadi musik dan transisi video yang dicombine dengan sebuah gerakan atau tarian tertentu.

Semenjak menjadi tren di kalangan anak-anak muda saat ini, velocity memiliki banyak peminat. Di tengah penolakan Revisi UU TNI oleh massa aksi, pengikut velocity kian bertambah, massanya tak kalah banyak dari gabungan kelompok massa aksi.

Jika pengikut velocity adalah mereka anak-anak Gen Milenial dan Gen Z, maka kuantitasnya akan melebihi orang-orang tua dan orang-orang dari Gen Alpha yang ada saat ini.

Berdasarkan sensus BPS tahun 2020 yang dikutip dari laman data.goodstats.id, generasi z yang lahir tahun 1997 sampai tahun 2012, jumlah mereka kisaran 27,94 persen atau sebanyak 74,93 juta jiwa.

Sedangkan, generasi milenial yang lahir dari tahun 1981 hingga tahun 1996 sekitar 69,38 juta jiwa atau sebanyak 25,87 persen. Kemungkinan jumlah populasi ini akan bertambah banyak seiring perjalanan waktu. Jika dua generasi ini ditotal, maka jumlah keseluruhannya melebihi 50 persen jumlah populasi penduduk Indonesia.

Populasi generasi milenial dan z dengan besaran lebih dari 50 persen yang apabila pengikut velocity berasal dari mereka, jelas, secara statistik gerakan velocity akan mengalahkan gerakan massa aksi penolakan UU TNI. Data ini tidak berlaku mutlak, bisa jadi faktanya berbanding terbalik.

Sebab, analisis ini dihitung berdasarkan statistik sensus BPS. Namun, kita juga harus mengakuinya bahwa pengamatan gema velocity terdengar lebih besar dan lebih besar cepat bergerak menyasar hampir seluruh kalangan.

Nasionalisme Kaum Velocity

Anggap saja gema velocity lebih besar dibanding gema penolakan UU TNI yang sudah disahkan DPR pada Kamis 20 Maret 2025. Lantas, kita berhak mengajukan pertanyaan, bagaimana nasionalisme mereka, para velocity-an!

Tepatkah sikap mereka yang punya kebiasaan bervelocity-an dan menempatkannya sebagai pilihan utama saat bukber atau kegiatan apa saja yang penting bisa velocity-an, bukan mendiskusikan atau minimal update situasi terkini bangsa.

Jika kaum velocity punya nasionalisme, bagaimana mengukurnya dan apa indikatornya serta bagaimana cara mengujinya!

Kita patut menduga bahwa nasionalisme mereka tidaklah sekuat nasionalisme orang-orang pada umumnya. Pemahaman nasionalisme mereka sebatas cinta tanah air. Kecintaannya pun sebenarnya hanya sampai di kerongkongan, tidak mendalam dan tidak terinternalisasi menjadi sebuah nilai.

Tentu, dugaan ini tidak bisa sepenuhnya dibenarkan, namun dugaan juga tidak bisa disalahkan karena sebenarnya dugaan ini memiliki akar yang bisa jadi pembenaran.

Pertama, sikap dan perilaku. Penulis menduga, velocity yang diperagakan adalah gambaran dari sikap mereka yang pesimis melihat realitas dan masalah kebangsaan yang terjadi. Hal ini sekaligus menjadi cerminan perilaku mereka saat ini.

Sikap dan perilaku mereka sebenarnya merupakan akumulasi dari cara pandang yang tidak terbiasa respect terhadap masalah sosial dan pikiran yang tidak terlatih berpikir konsep-konsep abstrak terkait masalah bangsa.

Kedua, data NEET. Informasi Badan Pusat Statistik tahun 2024 yang penulis kutip dari laman kumparan.com, 10 Februari 2025, merilis laporan anak muda yang berasal dari kalangan Gen Z yang berstatus NEET (Not in Education, Employment, or Training) tahun 2024 mencapai angka 20,31 persen.

Data ini menunjukkan status anak-anak muda berusia 15-24 tahun yang tidak sedang dalam masa training, tidak bekerja dan tidak berpendidikan.

Data ini menjadi akar mengapa tuduhan itu tadi muncul. Bahwa di balik keacuhan, ada persoalan serius yang lebih mendasar; pendidikan, pekerjaan dan ekonomi.

Persoalan lapangan kerja, pendidikan dan kesenjangan ekonomi bisa jadi menjadi faktor penghambat-kendati bisa juga tidak jadi faktor penghambat- tumbuhnya sikap nasionalisme anak-anak Gen Z saat ini.

Karena itu, kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan apabila para velocity-an hari ini lebih enjoy berjoget di hadapan layar gawai daripada harus sibuk memikirkan kondisi bangsa yang terjadi.

Bagi mereka, mencintai negeri banyak cara, salah satunya adalah bekerja lalu mendapatkan penghasilan dan melanjutkan hidup lebih utama ketimbang kabur aja dulu, ke luar negeri.

Nasionalisme setengah hati adalah jawaban paling mungkin akan terlontar. Ketimbang tidak memiliki nasionalisme, nasionalisme meski setengah hati masih lebih baik daripada tidak memiliki nasionalisme sama sekali.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini
Tutup