Guru yang Kebesaran
Oleh : Muhammad Suryadi R (Penulis Sewaktu-waktu dan Mahasiswa Pascasarjana IAIN Parepare)
Profesi guru beberapa bulan lalu disorot media. Kata guru bahkan menempati headline news setiap pemberitaan. Ada pula kasus disertasi calon Doktor -yang mana juga bisa disebut guru- yang harus tertunda. Ya, lagi-lagi soal manipulasi; joki, plagiasi dan semacamnya. Banyak macamnya pokoknya. Judulnya satu, Guru. Guru embel-embel “besar” tak sedikit jadi cuplikan. Seakan menegaskan kebesarannya, kebesarannya sekaligus menandakan keruntuhannya. Pelan-pelan.
Ada banyak guru, yang besar juga banyak. Besarnya juga tak kurang, pas. Pun tak boleh lebih, kalau lebih, “besar”nya mubazir. Sesuatu yang tidak disukai agama, mubazir. Anggap saja tak mubazir. Masalahnya adalah kata “besar” itu tak jarang dilebih-lebihkan, dipuja-puja, disakralkan, untungnya tak disembah. Itu kabar baiknya.
Ada guru lain. Tidak besar, tidak juga kecil, tapi mencetak calon-calon guru-guru, yakni Guru Ngaji. Di kampung-kampung, guru ini banyak sekali. Sebagian besar sudah agak modern, metodenya sudah mengikuti zaman. Sebagian lainnya masih ada yang mempertahankan ejaan lama, “ang, eng, ong” (Catatan: ejaan dalam bahasa Bugis, an, in, un dalam bahasa Indonesia).
Sekali lagi, guru ini tidak besar dan tidak kecil, pas. Guru ini menolak disebut guru besar. Dipaksa pun tidak akan bisa, sebab ilmunya bukan ilmu-ilmu njlimet, mumet, ribet, serius, kaku ala positivisme. Jika tetap dipaksa, akan kelebihan, jadinya mubazir juga. Meski begitu, tak ada yang melebih-lebihkan. Sebab itu jarang disorot media. Andai terekam, bisa jadi ilmunya mubazir atau bisa jadi karena orangnya memang doyan yang mubazir-mubazir.
Dua jenis guru tadi jelas berbeda. Yang pertama mesti melalui seleksi, assesmen, dan wajib melakukan publikasi karya tulis, setelah itu diangkat negara kemudian mendapat pengakuan dan memperoleh tunjangan yang lumayan besar. Guru yang kedua tidak seketat guru pertama. Syaratnya pun hanya perlu menguasai ilmu tajwid berikut variasi-variasinya, tak perlu diangkat institusi manapun. Kalau tunjangan tak usah ditanyakan, kecil, tak cukup memenuhi kebutuhan sebulan.
Belakangan, publik mayapada Indonesia heboh, isunya terkait “guru”. Kasus yang melibatkan guru memang tak pernah kering dari sumur obrolan orang-orang. Selalu ada timbah di setiap kehidupan mata air sumur. Apatah lagi predikatnya sebagai teladan yang melekat erat. Begitulah guru. Keteladanan berlaku bagi siapa saja yang merasa jadi “guru”. Juga bagi guru yang “besar” itu tadi, hanya masalah “guru besar” jauh lebih besar, scope-nya gede’ segede’ titlenya.
Yang terjadi sekarang, kebesaran itu diragukan publik. Netizen turut prihatin. Tidak saja dari warga akademik, juga dari masyarakat biasa. Netizen mulai bertanya-tanya. Pertanyaannya satu, integritas dan kredibilitas? Itu benar. Itu terjadi hampir di setiap tempat, tempat orang-orang menemukan takdir kelimuannya. Ia menyerang bak penyakit, namanya saraf terjepit. Tubuh kelihatan sehat bugar, tapi tak bisa berjalan. Nyeri.
Sejumlah analisis dan reportase menemukan kejanggalan-kejanggalan yang melibatkan pesohor dan pejabat yang kebelet menjadi besar. Bisa buka koran Kompas dan koran Tempo. Di situ lengkap. Lalu ada juga lembaga penilai resmi negara yang punya andil besar. Sebab, di situ pengaturan penilai. Temuan-temuannya membikin nyeri saraf tulang belakang. Yang paling parah, masalah loncatan. Belum saatnya, gelarnya sudah dua. Bukan main.
Ada juga, ini jamak, masalah duit. Rupiah dengan jumlah ikatan-ikatan tertentu kadangkala jadi senjata ampuh, seringkali jadi keniscayaan. Tujuannya tentu saja mendongkrak nilai. Modusnya, hadiah. Penglihatan yang tak terlatih melihat cahaya, pasti akan silau dikaburkan gelapnya materi. Miris. Urusan tanggungjawab keilmuan bisa diatur, itu urusan kedua. Yang penting jadi dulu. Menjadi “Besar” dahulu, urusan “Ilmu” bukan nomor satu.
Kalau-kalau sudah begini, siapa yang menanggung dosanya! Siapa malaikatnya, siapa juga yang jadi iblisnya, Neolib? Masalahnya, neolib ini sudah berurat berakar, sejak zaman kompeni. Sekarang sudah era Prabowo. Neolib sudah bertumbuh dan mengubah diri. Bentuknya bukan lagi barang dan jasa. Ia (neolib) telah menjelma dan merasuk ke alam sadar manusia. Yang paling nampak; buruh(isme). Watak buruh(isme) ini ditanamkan lewat lembaga pembentuk kesadaran, yakni pendidikan.
Caranya, melalui skema konsumerisme. Pertama-tama, sistem memaksa seseorang mengkonsumsi/memenuhi kesenangan (hasrat) maksimal ketimbang memenuhi kebutuhan (tujuan) utama. Dalam konteks pendidikan, seseorang mengkonsumsi pelajaran secara maksimal, tapi tidak diajarkan nilai; budi luhur, sebagai tujuan vital. Tujuan pendidikan sengaja dibelokkan untuk memenuhi kebutuhan materi; pekerja, buruh, bukan pemikir, intelektual. Skema ini kelihatan bahkan telanjang bulat, jarang yang melihat, tapi suka menikmati. Tak percaya? Silahkan tanyakan pada diri masing-masing, tujuan sekolah/kuliah apa? Ijazah. Yang agak optimis; bekerja.
Lembaga pendidikan memang tidak mengajarkan nilai, hanya mengejar keuntungan materi. Pendidikan kita memang sangatlah “positivisme” mulai struktur hingga desainnya. Kesampingkan urusan neolib. Lagi pula, pemikir-pemikir kritis yang sering dicap marxis sudah banyak yang mengulas sampai ke urat-akarnya. Pembaca hanya perlu sedikit menahan emosi saat membaca bukunya biar tidak “baper” melihat fakta mirisnya dunia pendidikan.
Kita kembali. Lalu, “siapa malaikat penyelematnya?” Ataukah pertanyaan ini tidak relevan? Mengingat masalahnya sudah berurat berakar. Atau cukup begini saja, tidak perlu tahu bagi yang tak mau tahu. Toh, panutan ilmu sudah tidak mau tahu bagaimana tanggungjawab pemilik ilmu. Rumah ilmu, tak lagi sakral, hanya tempat orkestrasi banal yang mencetak begal-begal karya tulis yang dengan bangga pamer kecilnya persentase kemiripan tulisan, tapi tidak punya akal. Titel sampai dua, tapi punya kebiasaan hura-hura menganggap titel penanda strata. Itulah begal-begal kampus tak punya nilai jual akibat ulah comot sana sini karya orang tanpa kehabisan akal.
Mau atau tidak, ke depan, pendidikan tinggi tetap begini-begini saja. Stok guru yang “besar” akan melimpah, publikasi jadi pajangan akademis belaka di jurnal-jurnal internasional. Barangkali, mengejar nilai lebih angka kredit akan lebih penting. kalau perlu angkanya sembilan puluh sembilan koma sekian-sekian, yang jelas tidak menyentuh angka seratus. Kalau seratus, berarti sudah menjadi Tuhan. Belum saja jadi Tuhan, dari segi keilmuan sudah besar, kaya, luar biasa. Pun kewenangannya sungguh digdaya. Bayangkan, kebijakannya mempengaruhi orang-orang yang berilmu. Kadang juga menundukkan orang-orang yang tidak berilmu.
Sesungguhnya, inilah guru yang ke’besar’an. Kebesarannya melebihi gelarnya. Memang, privellege yang dimiliki sangat menggiurkan. Gelar “besar” menjadi daya tarik bagi pesohor/pejabat sehingga kebelet jadi “besar”. Padahal, pesohor/pejabat itu sudah besar. Kurang besar apalagi pesohor/pejabat itu. Jangan-jangan, pesohor memang hanya perlu menjadi profesor biar menjadi profesor kebesaran, pesohor kebesaran, profesor pesohor, pejabat profesor, profesor dari profesor, atau profesor sekaligus procesor. Yang jelas tidak sampai menjadi Tuhan.
Tapi ingat, guru yang benar-benar besar itu tidak akan mau menjadi besar. Ia akan menolak dipanggil besar. Ia akan tetap merasa kecil, sebab yang besar itu hanya Akbar, yang lain kecil semuanya. Bahkan ada yang mengeluarkan surat edaran biar tidak dipanggil profesor di luar kampus. Ini baru langkah kesatria. Dan esensi “besar” itu tidak ditentukan dari gelar, tapi kontribusi bagi individu secara pribadi atau kepada masyarakat secara kolektif.
Kalau begini-begini terus, gelar guru “besar” dikejar sampai menghalalkan segala cara, maka ke depan guru ngaji akan lebih mulia dibanding guru besar. (Bisa jadi).
Wallahu a’lam bishawab.
Tinggalkan Balasan